REPOST.ID - Rasanya ada yang ganjil. Sesuatu yang gak biasa, tapi kamu gak bisa tunjuk hidung itu apa. Hubungan yang biasanya hangat dan terbuka, belakangan ini terasa... berbeda. Ini bukan soal satu kesalahan kecil atau lupa bayar tagihan. Ini lebih dalam. Ini soal firasat, soal intuisi yang berbisik di belakang kepalamu bahwa ada yang gak beres. Naluri kamu mungkin sedang bekerja, mencoba memberitahu sesuatu.
Kepercayaan adalah mata uang dalam sebuah hubungan. Tanpanya, semuanya terasa hampa dan rapuh. Tapi kepercayaan gak hancur dalam semalam. Ia terkikis pelan-pelan, seringkali dimulai dari kebohongan-kebohongan kecil yang menumpuk, lalu berevolusi menjadi rahasia besar. Masalahnya, pembohong yang lihai jarang sekali mengaku. Sebaliknya, mereka mengubah perilaku.
Memang, gak semua perubahan sikap berarti dia selingkuh atau menyembunyikan sesuatu yang fatal. Bisa jadi dia stres karena pekerjaan, ada masalah keluarga, atau sedang gak enak badan. Tapi, jika perubahan itu drastis, konsisten, dan datang dalam "paket" (lebih dari satu tanda), kamu berhak untuk waspada. Ini bukan tentang jadi detektif yang paranoid, tapi tentang memahami dinamika hubunganmu. Mari kita bedah lebih dalam lima perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong yang paling umum, yang seringkali terlewatkan.
1. Pola Komunikasi yang Tiba-Tiba Berubah Drastis
Ini adalah garis depan pertahanan sekaligus area yang paling cepat retak. Dulu, kalian bisa ngobrol berjam-jam tentang apa saja, dari hal konyol sampai mimpi terdalam. Sekarang? Rasanya seperti bicara dengan orang asing. Perubahan ini bisa terjadi dalam dua ekstrem: bisa jadi dia mendadak jadi sangat pendiam, atau sebaliknya, dia bicara terlalu banyak.
Kebohongan itu butuh energi kognitif yang besar. Dia harus menciptakan skenario, mengingat detail palsu, dan mengontrol reaksinya. Ini melelahkan. Karena itu, banyak yang memilih jalan pintas: mengurangi komunikasi. Mereka menghindari obrolan mendalam karena takut "kelepasan" bicara atau ditanya lebih lanjut. Jawaban mereka jadi singkat, "Iya," "Nggak," "Oke," "Lagi sibuk." Obrolan yang dulu dua arah, kini jadi satu arah. Kamu yang terus bertanya, kamu yang terus memulai. Dia hanya merespons seadanya.
Di sisi lain, ada juga yang oversharing—terlalu banyak bicara hal-hal yang gak relevan. Dia mungkin cerita super detail tentang harinya di kantor, siapa makan apa, siapa pakai baju apa, sampai kamu bosan. Ini adalah teknik pengalihan. Dia berharap, dengan memberimu rentetan informasi (yang gak penting), kamu akan merasa "terpenuhi" dan gak akan bertanya soal hal-HAL yang sebenarnya penting.
Cerita yang Tidak Konsisten dan Penuh Lubang
Perhatikan detail ceritanya. Orang yang jujur mengingat kejadian secara alami. Orang yang berbohong mengingat skenario yang mereka buat. Karena itu, ceritanya sering gak konsisten. Minggu lalu dia bilang lembur karena meeting A, minggu ini dia bilang lembur karena project B. Saat kamu tanyakan lagi, detailnya berubah.
Ini bukan berarti kamu harus mencatat setiap omongannya. Tapi jika kamu merasa "Lho, kok beda ya ceritanya?" terlalu sering, itu sinyal merah. Mereka mungkin akan menuduhmu "pikun" atau "salah dengar", tapi intuisi kamu biasanya tahu mana yang janggal.
Tiba-Tiba Menjadi Sangat Tertutup Soal Gawai (HP dan Laptop)
Ah, kotak pandora modern. Dulu, HP-nya mungkin tergeletak begitu saja. Kamu bisa meminjamnya untuk browsing atau main game. Sekarang, HP itu dijaga seperti aset negara. Dibawa ke kamar mandi, ditaruh face down (layar di bawah), atau tiba-tiba pakai password baru padahal sebelumnya gak pernah.
Saat ada notifikasi masuk, dia buru-buru meraihnya atau menjauh darimu untuk membacanya. Ini adalah perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong yang sangat visual. Mereka menciptakan benteng digital karena di situlah "bukti" tersimpan. Jika kamu iseng bertanya, reaksinya akan defensif, "Ini privasi, dong!" Padahal, dulu privasi gak pernah jadi masalah besar.
Penggunaan Bahasa yang Mengambang dan Menjauh
Saat berbohong, orang secara gak sadar mencoba "menjauhkan" diri dari kebohongannya. Ini tercermin dari bahasa yang mereka gunakan. Mereka menghindari kata ganti orang pertama seperti "Aku" atau "Saya". Misalnya, alih-alih bilang, "Aku tadi ketemu dia," mereka mungkin bilang, "Tadi kejadiannya ketemu dia" atau "Ya... kita ketemu."
Dr. Bella DePaulo, seorang psikolog sosial terkemuka dari University of Virginia yang mendedikasikan karirnya untuk meneliti kebohongan, menemukan hal menarik. Dalam penelitiannya, orang yang berbohong cenderung menggunakan lebih sedikit kata ganti orang pertama. Mereka juga cenderung menggunakan lebih banyak kata-kata bernada negatif, seolah-olah mereka merasa gak nyaman dengan apa yang mereka katakan. Mereka juga banyak menggunakan frasa pengisi yang mengambang seperti, "Kayaknya sih...", "Seingatku...", "Mungkin...", untuk memberi ruang jika ceritanya nanti perlu diubah.
Semua perubahan komunikasi ini, baik yang terlalu diam maupun terlalu ramai, adalah upaya mereka untuk mengontrol narasi. Mereka sedang membangun tembok. Dan seringkali, tembok ini gak cuma dibangun dari kata-kata, tapi juga dari sikap defensif yang meledak-ledak.
2. Perilaku Defensif dan Sifat Menghindar yang Meningkat
Bayangkan ini: kamu hanya bertanya pertanyaan sederhana dan normal. "Kamu dari mana tadi, kok jam segini baru pulang?" Dulu, dia akan menjawab santai, "Macet banget, tadi mampir beli kopi dulu." Sekarang? Pertanyaan yang sama bisa memicu Perang Dunia Ketiga.
Dia mungkin langsung "naik gas", "Kamu curigaan banget, sih! Aku capek kerja, kamu malah interogasi!" atau "Emang kenapa kalau aku pulang telat? Gak boleh?" Reaksi yang berlebihan terhadap pertanyaan normal adalah red flag besar. Orang yang gak menyembunyikan apa-apa, biasanya akan menjawab dengan tenang. Orang yang merasa "terancam" (karena kebohongannya nyaris terungkap), akan langsung membangun pertahanan diri.
Sikap defensif ini adalah perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong yang paling menguras emosi. Kamu jadi merasa bersalah hanya karena bertanya. Kamu jadi takut untuk memulai obrolan. Pelan-pelan, kamu mulai ragu pada dirimu sendiri. "Apa aku yang terlalu sensitif, ya?" Padahal, kamu hanya merespons kejanggalan yang dia ciptakan.
"Gaslighting": Memutarbalikkan Fakta Hingga Kamu Meragukan Realitasmu
Ini adalah senjata pamungkas yang sangat manipulatif. Gaslighting adalah saat dia membuatmu meragukan kewarasanmu sendiri. Kamu menemukan bukti (misalnya, chat yang aneh), dan saat kamu konfrontasi, dia malah bilang, "Itu kamu salah lihat," "Kamu cuma imajinasi," atau "Itu teman lama, kamu aja yang parnoan."
Puncaknya, dia akan membalikkan keadaan. "Masalahnya itu bukan di aku, tapi di kamu yang insecure." Dia membuat kamu jadi masalahnya, padahal dialah yang menciptakan masalah. Ini adalah taktik untuk mengalihkan fokus dari perilakunya dan membuatmu sibuk mempertanyakan dirimu sendiri. Jika kamu mulai merasa "gila" atau "terlalu baper" dalam hubunganmu, hati-hati, mungkin kamu sedang di-gaslight.
Menyerang Balik dengan Isu Masa Lalu (Counter-Attacking)
Ini taktik pengalihan klasik lainnya. Saat kamu bertanya soal perilakunya hari ini, dia akan mengungkit kesalahanmu tiga bulan lalu.
Kamu: "Kenapa kamu bohong soal pergi sama siapa tadi malam?"
Dia: "Oh, jadi kamu mau ngomongin bohong? Ingat gak waktu kamu lupa bilang ke aku soal ketemu mantanmu di mall? Itu apa namanya?!"
Lihat polanya? Dia gak menjawab pertanyaanmu. Dia menyerang balik dengan amunisi lama untuk membuatmu merasa sama bersalahnya, atau setidaknya, untuk membuat obrolan jadi buntu. Tujuannya satu: agar fokus pembicaraan beralih dari kebohongannya saat ini.
Menghindari Waktu Berkualitas Berdua Secara Konsisten
Dia jadi "sibuk" terus-menerus. Dulu, weekend adalah waktu kalian. Sekarang, selalu ada alasan: "Lembur," "Ada acara teman," "Badan capek banget, mau tidur aja." Dia secara fisik dan emosional menarik diri. Dia menghindari situasi di mana kalian bisa berdua dalam waktu lama.
Kenapa? Karena dalam keheningan dan kedekatan, kebohongan jadi lebih sulit dijaga. Lebih mudah ketahuan. Dia takut kamu akan merasakan kegelisahannya, atau takut kamu akan bertanya lebih dalam. Lebih aman baginya untuk menciptakan jarak fisik, dengan harapan jarak emosional akan mengikuti.
Sikap defensif dan menghindar ini adalah benteng yang dia bangun. Dia berusaha keras melindungi rahasianya. Tapi, setebal apa pun benteng kata-kata yang dia bangun, tubuh seringkali punya ceritanya sendiri. Tubuh gak bisa diajak kompromi untuk berbohong.
3. Bahasa Tubuh yang Terasa "Off" dan Tidak Sinkron
Pernah merasa begini? Dia bilang, "Aku sayang kamu," tapi matanya gak menatapmu, atau tubuhnya kaku. Dia bilang, "Acara tadi seru kok," tapi senyumnya gak sampai ke mata. Inilah yang disebut ketidakselarasan. Mulutnya berkata A, tapi tubuhnya berteriak B.
Kebohongan menciptakan stres dan konflik internal (disonansi kognitif). Tubuh merespons stres ini secara otomatis. Pakar bahasa tubuh dan emosi terkenal, Dr. Paul Ekman, mempopulerkan konsep "ekspresi mikro" (micro-expressions). Ini adalah kilatan emosi asli di wajah yang terjadi sangat cepat (kurang dari sepersekian detik) sebelum otak sadar sempat menutupinya dengan ekspresi palsu. Mungkin kamu melihat kilatan rasa takut, bersalah, atau marah sesaat sebelum dia tersenyum dan bilang "semua baik-baik aja."
Perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong gak cuma terdengar dari suaranya, tapi terlihat jelas dari gerak-geriknya. Kamu gak perlu jadi ahli bahasa tubuh untuk "merasakan" ada yang salah. Kamu hanya perlu percaya pada perasaanmu saat melihat gestur yang gak sinkron dengan ucapannya.
Menghindari Kontak Mata, atau Justru Menatap Terlalu Intens
Banyak yang bilang pembohong gak berani menatap mata. Ini ada benarnya. Menghindari kontak mata adalah tanda klasik rasa malu, bersalah, atau gak nyaman. Dia mungkin akan melihat ke lantai, ke langit-langit, atau ke mana saja asal bukan ke matamu saat menjawab pertanyaan sensitif.
Tapi, ada juga pembohong yang sudah "terlatih". Mereka tahu mitos ini. Jadi, mereka melakukan sebaliknya: menatapmu terlalu intens. Tatapannya tajam, gak berkedip, seolah menantangmu, "Lihat, aku natap mata kamu, berarti aku jujur, kan?" Tatapan yang dipaksakan ini terasa agresif dan gak natural, berbeda jauh dengan tatapan hangat penuh cinta yang biasa kamu terima.
Kegelisahan Fisik yang Tidak Bisa Disembunyikan (Fidgeting)
Stres dan kegugupan butuh pelampiasan fisik. Perhatikan tangan dan kakinya. Apakah dia jadi lebih sering mengetuk-ngetuk jari di meja? Menggoyangkan kaki tanpa henti? Memainkan rambut, kuku, atau pulpen?
Gestur-gestur ini disebut adapter atau pacifying behaviors (perilaku menenangkan diri). Dia secara gak sadar mencoba menenangkan kegugupannya sendiri. Tanda lain yang sangat umum adalah menyentuh wajah, terutama hidung, mulut, atau leher. Seolah-olah dia ingin "menutup" kebohongan yang keluar dari mulutnya atau melindungi titik-titik vitalnya.
Postur Tubuh yang Tertutup dan Menciptakan Jarak
Saat kita jujur dan terbuka, postur tubuh kita juga terbuka. Tangan gak bersilang, tubuh menghadap ke lawan bicara. Sebaliknya, saat seseorang menyembunyikan sesuatu, tubuhnya "menutup".
Dia mungkin sering menyilangkan tangan di dada (menciptakan barrier atau penghalang fisik antara kamu dan dia). Bahunya membungkuk. Saat duduk di sofa, dia mungkin mengambil posisi yang lebih jauh darimu, atau menaruh bantal di antara kalian. Saat kamu mencoba memeluk atau menyentuhnya, tubuhnya terasa kaku dan gak merespons seperti biasa. Dia menciptakan jarak fisik karena secara emosional, dia memang sedang menjauh.
Bahasa tubuh ini adalah kebocoran dari alam bawah sadarnya. Itu adalah sinyal bahwa ada sesuatu yang gak beres di dalam dirinya. Dan kegelisahan internal ini seringkali tumpah ke dunia nyata, mengacaukan pola hidup dan rutinitas yang sudah terbangun.
4. Perubahan Drastis pada Kebiasaan dan Rutinitas Harian
Manusia adalah makhluk kebiasaan. Kita punya ritme harian: kapan bangun, kapan kerja, kapan makan, kapan bersantai. Ritme ini memberikan kita kenyamanan dan prediktabilitas. Ketika seseorang memulai sebuah kebohongan besar (seperti perselingkuhan, kecanduan, atau masalah utang), kebohongan itu butuh waktu dan ruang baru.
Waktu dan ruang ini gak datang dari langit. Mereka "mencurinya" dari rutinitas yang sudah ada. Inilah mengapa perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong seringkali paling mudah dideteksi dari jadwalnya yang tiba-tiba berantakan atau berubah total.
Perubahan ini mungkin awalnya tampak logis, tapi lama-kelamaan polanya jadi aneh. Dia yang biasanya selalu on time pulang kerja, kini punya alasan baru setiap hari. Dia yang dulu paling malas olahraga, kini mendadak jadi fitness freak yang menghabiskan berjam-jam di gym. Tentu, orang bisa berubah menjadi lebih baik, tapi jika perubahan itu mendadak, rahasia, dan dibarengi tanda-tanda lain, kamu patut curiga.
"Lembur" Misterius atau "Kegiatan Baru" yang Menyita Waktu
Ini adalah alasan paling klise, tapi paling sering digunakan. "Lembur" jadi senjata andalan. Dulu, lemburnya jelas, mungkin ada project besar yang kamu tahu. Sekarang, lemburnya terjadi hampir setiap hari, tapi saat ditanya kerjaan apa, jawabannya mengambang, "Biasa, kerjaan numpuk."
Atau, dia tiba-tiba punya hobi baru. "Aku mau ikut komunitas sepeda," "Aku mau mulai nge-gym." Bagus, kan? Tapi anehnya, dia selalu pergi sendirian. Kamu gak pernah diajak. Kamu gak pernah dikenalkan dengan "teman-teman baru"-nya. Hobi itu jadi alasan sempurna untuk "menghilang" selama beberapa jam secara reguler.
Perhatian Berlebih (atau Justru Cuek) pada Penampilan Fisik
Lihat bagaimana penampilannya berubah. Ada dua kemungkinan ekstrem. Pertama, dia jadi jauh lebih cuek. Dia gak peduli lagi penampilannya di depanmu, karena fokus dan usahanya sudah tercurah untuk orang lain. Dia gak lagi berusaha membuatmu terkesan.
Kemungkinan kedua, yang lebih sering terjadi, adalah dia mendadak jadi sangat dandy dan peduli penampilan. Dia beli baju baru, parfum baru, ganti gaya rambut, atau (jika dia selingkuh) tiba-tiba rajin pakai pakaian dalam yang bagus. Dia ingin tampil impresif. Pertanyaannya, untuk siapa? Jika dia melakukan semua itu tapi sikapnya padamu tetap dingin atau defensif, kemungkinan besar itu bukan untukmu.
Perubahan Kebiasaan Finansial dan Isu Uang yang Sensitif
Kebohongan seringkali butuh biaya. Entah itu biaya untuk kencan (jika selingkuh), biaya untuk menutupi kecanduan (judi, belanja), atau biaya lainnya. Ini akan tercermin di rekening bank.
Uang tiba-tiba jadi isu yang sangat sensitif. Dia mungkin jadi lebih pelit padamu dan kebutuhan rumah tangga, padahal gajinya gak turun. Atau, kamu menemukan banyak penarikan uang tunai (ATM) dalam jumlah ganjil—ini cara klasik agar pengeluaran gak terlacak di mutasi rekening. Mungkin ada tagihan kartu kredit yang disembunyikan, atau pengeluaran-pengeluaran aneh di e-commerce yang gak bisa dia jelaskan. Saat ditanya soal uang, dia akan defensif (kembali ke poin 2).
Perubahan rutinitas ini, dari jadwal, penampilan, hingga finansial, adalah cara kebohongan "merombak" hidupnya. Dan perombakan ini gak cuma terjadi di luar, tapi juga di dalam. Emosinya ikut terombang-ambing, menciptakan sikap yang sangat membingungkan bagimu.
5. Munculnya Sikap Terlalu Manis atau Terlalu Kritis
Ini adalah dua sisi mata uang dari rasa bersalah. Ketika seseorang berbohong, dia hidup dalam konflik batin. Di satu sisi, dia tahu tindakannya salah dan menyakitimu. Di sisi lain, dia ingin melanjutkan kebohongannya. Konflik ini bermanifestasi menjadi dua perilaku ekstrem: kompensasi (terlalu manis) atau justifikasi (terlalu kritis).
Perubahan sikap pasangan yang sedang berbohong ini seringkali yang paling bikin bingung. Sebentar dia terasa seperti pasangan paling romantis di dunia, sebentar kemudian dia berubah jadi orang paling menyebalkan yang pernah kamu kenal. Kamu jadi seperti naik roller coaster emosi setiap hari, gak tahu harus bersikap apa.
Sikap yang naik-turun ini adalah cerminan dari perang batin yang sedang dia alami. Dia gak stabil, dan dia membuatmu ikut gak stabil. Ini adalah tanda kelelahan emosional akibat menutupi sesuatu yang besar.
"Love Bombing" Mendadak untuk Menutupi Rasa Bersalah
Dia tiba-tiba jadi super romantis. Jauh lebih romantis dari biasanya. Dia pulang bawa bunga (padahal gak ada acara spesial), membelikanmu hadiah mahal, atau memujimu setinggi langit. Perilaku ini dikenal sebagai love bombing atau "bom cinta".
Jangan salah, perlakuan manis itu menyenangkan. Tapi jika itu datang tiba-tiba, out of nowhere, dan terasa... berlebihan, bisa jadi itu adalah kompensasi rasa bersalah. Dia merasa sangat bersalah atas kebohongannya, jadi dia mencoba "menebusnya" dengan materi atau perlakuan super manis. Dia berharap sikap baiknya ini akan membuatmu senang dan gak curiga. Ini juga cara dia menenangkan dirinya sendiri, "Lihat, aku masih pasangan yang baik, kok."
Menjadi Sangat Kritis dan Gampang Marah (Mencari Pembenaran)
Ini adalah kebalikannya, dan ini jauh lebih menyakitkan. Dia mulai mencari-cari kesalahanmu. Hal-hal kecil yang dulu dianggap lucu atau biasa saja, kini jadi masalah besar. Cara kamu menaruh handuk, masakanmu yang sedikit keasinan, atau cara kamu tertawa, semuanya dikritik.
Kenapa dia melakukan ini? Ini adalah mekanisme pertahanan psikologis untuk justifikasi atau pembenaran. Agar dia gak merasa terlalu bersalah, dia harus meyakinkan dirinya sendiri bahwa kamu pantas dibohongi. Dia menciptakan narasi di kepalanya: "Pantesan aku bohong/selingkuh, orang dia nyebelin banget," atau "Dia gak perhatian lagi, jadi wajar aku cari perhatian di luar." Dengan menyalahkanmu, dia merasa kebohongannya jadi "setimpal".
Emosi yang Naik Turun Seperti "Roller Coaster"
Satu jam dia bisa tertawa mesra bersamamu, satu jam kemudian dia bisa membentakmu karena hal sepele. Mood-nya berubah-ubah tanpa alasan yang jelas. Hari ini dia penuh kasih, besok dia dingin seperti es.
Ketidakstabilan emosi ini adalah cerminan langsung dari stres, rasa bersalah, dan ketakutan ketahuan yang dia rasakan. Dia sedang berperang dengan dirinya sendiri, dan kamu kena imbasnya. Kamu jadi harus "jinjit" di sekitar dia, takut salah bicara, takut memicu ledakan emosinya. Hubungan yang harusnya jadi tempat aman, kini terasa seperti medan ranjau.
Melihat kelima perubahan sikap ini—komunikasi yang terputus, pertahanan diri yang kuat, bahasa tubuh yang gak sinkron, rutinitas yang kacau, dan emosi yang labil—bisa jadi sangat menyakitkan dan membingungkan. Ini bukan lagi soal satu kebohongan kecil, tapi soal fondasi kepercayaan yang sedang digerogoti.
Apa Langkah Selanjutnya?
Jika kamu membaca ini dan merasa "check, check, check" di hampir semua poin, tarik napas dulu. Jangan langsung panik atau melabraknya dengan amarah. Mengumpulkan bukti sambil marah-marah hanya akan membuatnya semakin defensif dan mengunci rahasianya lebih rapat.
Percayai intuisimu. Tanda-tanda ini adalah validasi bahwa perasaan ganjilmu itu beralasan. Langkah terbaik adalah observasi lebih tenang. Lihat polanya, bukan hanya satu insiden.
Pada akhirnya, kamu yang paling tahu pasanganmu dan hubungan kalian. Jika perubahan sikap ini terus terjadi, konsisten, dan membuatmu merasa gak aman, gak dihargai, atau gila, mungkin ini saatnya untuk bicara jujur dari hati ke hati. Bukan untuk menuduh, tapi untuk mencari kejelasan. Sampaikan apa yang kamu rasakan ("Aku merasa kita makin jauh," "Aku merasa ada yang beda") alih-alih apa yang dia lakukan ("Kamu bohong, kan?!"). Kesehatan mentalmu dan kejujuran dalam hubungan adalah prioritas utama.
